Kupat dan Lepet

 

Di beberapa daerah seperti sekitar Madiun dan Surakarta, Idul Fitri bukan hanya milik Umat Islam. Di daerah-daerah itu, Idul Fitri adalah milik semua orang, baik itu beragama Islam atau bukan. Maka, dalam masyarakat Jawa, terjadi pergeseran hari besar, dari tanggal 1 Suro (Islam : 1 Muharam) ke tanggal 1 Sawal (Islam : 1 Syawal). Umat Jawa non-Muslim hanya menjalankan ritual kupatan (Jawa: tradisi membuat ketupat) dan ujung (bahasa Jawa : kunjungan), tanpa Shalat Id.

Idul Fitri dikatakan merupakan satu rangkaian upacara yang berawal dari takbiran pada malam satu Sawal dan Shalat Id pada pagi harinya dan berakhir pada hari ketujuh dengan perayaan kupatan.

Idul Fitri dalam Jawa sering dihubungkan dengan kupat. Kupat adalah kepanjangan dari laku sipat (bahasa jawa : tindakan untuk meluruskan). Laku ini diwujudkan dalam daun pembungkus kupat, yaitu daun janur (daun kelapa yang masih muda). Janur bermakna ja (bahasa Arab : lahir, datang)  dan nur (bahasa Arab : cahaya) (Endraswara 2006:59). Sehingga kupat hendak mengatakan lahirnya cahaya. Di lain pihak, Wawan Susetya (2007:25) mengatakan bahwa ja berasal dari jalma (bahasa Jawa : manusia), sehingga artinya menjadi manusia yang bercahaya. Janur berwarna kuning, seperti cahaya kemenangan. Maka kupat bermakna pula hari kemenangan, kemuliaan sudah tiba dan cahaya itu telah terbit.

Untuk membuka bungkus kupat, caranya adalah tidak diudhar (bahasa Jawa : diurai), tapi dibelah menjadi empat. Hal ini berhubungan dengan laku papat. Keempat laku ini adalah lebaran, leburan, laburan, dan luberan. Lebaran berarti menunjukkan hari puasa sudah usai. Terminologi lebaran ini kemudian dipakai untuk menggantikan terminologi Idul Fitri. Leburan menunjukkan bahwa puasa merupakan saat melebur dosa dan kesalahan. Sedangkan laburan hendak menunjukkan bahwa setelah puasa usai dan dosa dilebur, maka manusia menjadi suci seperti labur (bahasa Jawa : kapur) yang berwarna putih. Dengan sucinya manusia, maka rahmatnya semakin luber (bahasa Jawa : berlimpah).

Selain kupat, orang Jawa juga membuat lepet, yaitu makanan dari ketan yang dibungkus janur pula. Berbeda dari kupat yang berbentuk segi empat, lepet berbentuk lonjong dan ditali dengan tali dari gedebog (bahasa Jawa : kulit batang pisang). lepet dimakan bersama parutan kelapa, kadang dengan parutan gula merah.

Kupat biasanya dimakan dalam keluarga. Kupat disantap bersama sayur lodeh dan lauk karena sejenis lontong hanya bentuknya yang berbeda. Selain dimakan dalam keluarga sendiri, kupat dan lepet juga dibagikan kepada tetangga sekitar. Setiap keluarga memang sudah membuat kupat dan lepet sendiri-sendiri. Kegiatan berbagi ini memang bukan dalam rangka memberi kepada orang yang kurang mampu. Makna yang ditonjolkan dalam berbagi ini adalah mengikat tali persaudaraan. Jika ada permusuhan, maka dengan mengantar kupat dan lepet, diandaikan adanya dua orang atau dua keluarga dapat saling bertemu dan berdamai.

Lepet berarti salah. Maknanya adalah segala kesalahan hendaknya dimaafkan. Kesalahan yang dimaafkan itu dilambangkan dengan lepet yang dibungkus janur, yaitu lambang kemuliaan. Namun kemuliaan itu masih tercampur dengan hakekat manusia yang lemah. Kelemahan manusiawi ini dilambangkan dengan gedebog yang licin dan mudah busuk.

Makan kupat dan lepet mengibaratkan orang lebar (bahasa Jawa : keluar) dari kepompong (Endraswara 2006 : 75). Puasa merupakan laku prihatin (Jawa : hal matiraga). Laku ini harus dijalani untuk mijil (bahasa Jawa : lahir)menjadi pribadi baru. Jika dilihat dari luar, kepompong itu tidak memiliki keindahan. Namun setelah kepompong itu terbuka, muncullah kupu-kupu yang indah. Manusia pun juga harus demikian. Setelah menjalani laku prihatin, manusia juga harus tampil lebih indah. Keindahan yang dimaksud adalah keindahan batin, yaitu mempunyai dada yang lebih jembar (bahasa Jawa : kelapangan hati).