Dedalane guna lawan sekti,
kudu andhap asor,
wani ngalah luhur wekasane,
tumungkula yen dipun dukani,
bapang den simpangi,
ana catur mungkur
(Jalannya orang yang berguna dan berilmu, Harus rendah diri, Berani mengalah itu luhur, Bertumbuhlah jika dikritik, Hindarilah keburukan, Hindari perkataan yang tidak perlu)
(Purwadi 2010 : 28)
Tembang di atas adalah Macapat (Jawa: sejenis tembang dalam Sastra Jawa) jenis Mijil (Jawa: macapat dengan jumlah barisnya ada 6 per bait, jumlah suku kata per barisnya 10, 6, 10, 10, 6, 6, huruf vokal terakhir per barisnya i, o, e, i, i, u). Secara harafiah, Mijil berarti lahir. Biasanya Mijil ditembangkan sebagai pitutur (bahasa Jawa : petunjuk) kepada semua orang yang lahir di dunia ini.
Satu ungkapan yang cukup populer di kalangan orang Jawa dari Tembang Mijil di atas adalah wani ngalah luhur wekasane dalam baris ketiga. Ungkapan ini mencerminkan sifat orang Jawa yang cenderung menghindari perselisihan dan lebih baik mengalah. Sifat ini membentuk watak halus dalam pribadi orang Jawa.
Dasar dari konflik adalah sikap tidak bisa bersyukur atas apa yang dimiliki dan iri hati terhadap milik orang lain. Sikap ini melahirkan ambisi yang berlebihan untuk selalu lebih unggul daripada orang orang lain. Jika persaingannya dilakukan dengan sehat, maka tidak ada masalah. Celakanya, orang yang ambisius kadang bersaing hanya dengan motivasi ingin menyombongkan diri, ingin dilihat baik oleh orang lain. Akibatnya, dalam bersaing, segala cara dipakai, termasuk cara yang buruk. Untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah pribadi yang baik, seseorang menjelek-jelekkan orang lain.
Contoh penerapan wani ngalah luhur wekasane adalah dalam kisah Pandawa dan Kurawa. Pada saat Prabu Pandudewanata wafat, putra-putranya, Pandawa, masih kecil, sehingga Kerajaan Astina dititipkan pada Drestarata, paman Pandawa, ayah Kurawa. Setelah Pandawa dewasa, ternyata kerajaan tidak diwariskan pada Pandawa, tapi justru pada Kurawa.
Menghadapi situasi semacam ini, ternyata Pandawa menghindari keributan dan memilih mendirikan kerajaan baru, yaitu Amarta. Setelah itu, Amarta pun diambil pula oleh Kurawa melalui cara licik, yaitu judi dadu. Dalam berbagai situasi yang tidak adil, Pandawa bisa sedemikian sabar menghadapi Kurawa, saudara-saudaranya. Pandawa mampu mengalah, mengampuni, dan tidak dendam. Kurawa tidak bisa bersyukur karena sudah mendapat Astina. Bahkan, Amarta yang dimiliki oleh Pandawa, saudaranya sendiri, diinginkan pula oleh para Kurawa. Pandawa menunjukkan sikap mengalah. Mengalah tidak berarti kalah. Mengalah merupakan sikap yang satria.
Sifat lebih baik mengalah ini sering kali disalahpahami sebagai sikap indiferen (membiarkan hal yang tidak baik). Untuk menghindari kesalahan pemahaman, ungkapan wani ngalah luhur wekasane harus dipahami dalam konteks andhap asor (bahasa Jawa: rendah hati) dan bapang den simpangi. Segala bapang (bahasa Jawa : keburukan) tetap harus dijauhi. Menurut Achmad Sri Wintala (2016 : 55), mengalah tidak dilakukan dalam segala situasi, namun dalam rangka membentuk kepribadian yang andhap asor (bahasa Jawa : rendah hati).
Pandawa yang selalu mengalah, ternyata bisa juga berperang dalam Perang Bharatayudha. Pandawa sebenarnya tidak mau melawan keluarga dan gurunya sendiri. Namun Kresna menasihati bahwa Pandawa tidak perang melawan keluarga dan gurunyanya sendiri. Pandawa sedang berperang melawan ketidakadilan (Endraswara 2010 : 102). Tindakan Kurawa yang tidak mau menyerahkan Amarta dan Astina kepada Pandawa adalah tindakan yang tidak adil. Melawan ketidakadilan merupakan dharma (bahasa Jawa Kuno : kewajiban) ksatria.
Jadi, sikap ngalah bukanlah sikap kalah atau indiferen. Mengalah dilakukan untuk meraih tujuan yang lebih luhur daripada popularitas. Bertikai itu tidak ada gunanya sehingga lebih baik pertikaian itu dihentikan atau jangan memulai pertikaian. Namun jika konflik tidak dapat dihindari, maka orang juga harus menghadapinya dengan sikap ksatria.
Mengalah dan berkonflik adalah usaha untuk mencari kebenaran. Jika bisa memilih, pilihan mengalah akan lebih baik daripada berkonflik karena dalam konflik kadang mucul godaan untuk mencari popularitas. Filsafat Jawa mengajak orang untuk mencari kebenaran, bukan popularitas.